Halo, selamat datang di blog saya!
Di postingan pertama ini, saya ingin bercerita tentang satu hal yang sangat sederhana, tapi juga luar biasa istimewa: gorengan.
Ya, gorengan bukan hanya makanan murah pinggir jalan. Bagi saya, gorengan adalah bagian dari kisah hidup: tentang usaha, kehangatan, kebersamaan, dan rasa syukur.
Mari kita mulai cerita ini dari awal, yaitu dapur tempat segalanya bermula.
1️⃣ Menyulam Rasa di Dapur Sederhana
Setiap hari dimulai dengan aroma bawang putih dan tepung terigu.
Di meja kayu yang sudah mulai usang, saya dan keluarga mempersiapkan bahan:
-
Tempe yang sudah kami iris tipis-tipis, agar garing saat digoreng.
-
Tahu putih, terkadang tahu Sumedang, dipotong dadu atau segitiga.
-
Singkong dan ubi yang dikupas bersih, lalu dipotong sesuai selera.
-
Sedikit pisang kepok untuk membuat pisang goreng favorit pembeli.
Lalu kami membuat adonan tepung: campuran terigu, sedikit tepung beras agar teksturnya renyah, bawang putih, ketumbar, kunyit untuk warna, dan sedikit garam.
Air kami tambahkan sedikit demi sedikit sambil diaduk, hingga teksturnya pas: tidak terlalu encer, tidak terlalu kental.
2️⃣ Musik “Cesss…” di Atas Minyak Panas
Wajan besar diletakkan di atas kompor gas.
Minyak kami panaskan hingga cukup panas untuk menghasilkan suara “cesss…” yang menenangkan.
Satu per satu, tempe dan tahu dicelup ke adonan tepung, lalu dimasukkan ke dalam minyak panas.
Aroma harum langsung menyebar, perlahan-lahan memenuhi dapur.
Kami selalu menjaga api sedang: cukup panas untuk membuat lapisan luar garing, tapi tidak terlalu besar agar gorengan tidak cepat gosong dan bagian dalam tetap matang.
Saat warna berubah keemasan, gorengan kami angkat, lalu tiriskan di atas saringan logam. Proses ini sederhana, tapi memerlukan perhatian dan cinta.
3️⃣ Dari Lapak Kecil, Hadirkan Hangatnya Kebersamaan
Sore hari adalah waktu paling sibuk.
Gorengan yang sudah ditiriskan, kami tata di etalase kaca sederhana di pinggir jalan.
Lampu kuning di atas etalase bukan hanya penerang, tapi juga “penyihir” yang membuat gorengan tampak lebih menggoda.
Setiap hari, ada saja pelanggan yang mampir:
-
Anak-anak sekolah yang pulang sambil membawa uang jajan.
-
Pekerja kantor yang pulang kerja, mampir untuk membeli bekal di perjalanan.
-
Ibu-ibu yang baru selesai belanja sayur.
Mereka memilih sendiri: “Tempe satu, tahu dua, pisang satu, bakwan dua.”
Kadang sambil bercerita singkat: tentang cuaca, tentang anak yang baru lulus, atau harga minyak yang naik.
Dan saya selalu senang mendengar cerita mereka. Rasanya, selain menjual gorengan, kami juga “menjual” senyum dan obrolan kecil yang tulus.
4️⃣ Lebih Dari Sekadar Dagangan: Gorengan dan Budaya Kita
Gorengan bagi saya adalah lambang kehangatan.
Hampir semua orang punya kenangan tentang gorengan:
-
Dimakan saat hujan bersama teh manis hangat.
-
Jadi teman begadang nonton bola.
-
Disajikan saat kumpul keluarga.
Harga gorengan boleh murah, tapi nilainya di hati banyak orang sungguh mahal.
Di setiap gigitan tempe goreng, ada cerita keluarga, ada usaha, ada keikhlasan, dan ada rasa syukur.
5️⃣ Sepotong Kehangatan dalam Sejumput Tepung
Gorengan adalah karya sederhana, tapi punya arti besar.
Lewat blog ini, saya ingin berbagi kisah, resep, tips, hingga potret kehidupan di balik lapak gorengan.
Semoga kalian bisa merasakan kehangatan yang sama seperti saya saat menulis ini.
Sampai jumpa di cerita berikutnya — dan selamat menikmati gorengan hangat! 😋✨
Tidak ada komentar:
Posting Komentar